Sabtu, 30 April 2016

Ada Rian, Tari dan Cerita Tentang Anak Tunggal



"Kak Berbie, gimana kalau kita bikin postingan tentang anak tunggal?" suatu pagi yang cerah ceria saya mendapat ide agak gila.

"Hmmm...boleh. Yuk yuk!" Kak Berbie juga nggak kalah gila. Langsung mengiyakan tawaran saya. Hahaha. Tentu dengan diskusi panjang lebar kali tinggi.

Boleh jadi ini postingan pertama di blog tentang saya sebagai anak tunggal. Walau sebenarnya nama blog saya memang mencerminkan anak tunggal. Tapi nggak ada salahnya jika jika ada bumbu-bumbu khusus, terutama seluk beluk sebagai anak tunggal. Biar khalayak tahu bahwa menjadi anak tunggal tak kalah menyenangkan seperti anak-anak yang punya adik kakak. Biar nggak kalah ngehits sama AADC lah ya :p *halah.

Saat mengusulkan ide tersebut, saya tidak tahu tujuan akhir tulisan-tulisan yang akan kami buat. Akankah postingan kami ini berlangsung hingga berkeluarga? Entahlah. Harapannya sih gitu ya. Hihihi. Mau kan, Kak Berbie?

Tulisan-tulisan kami tentang anak tunggal akan publish sebulan sekali di akhir bulan. Mengapa sebulan sekali? Ya gimana ya, kami berdua sibuk nyari sekarung berlian. Hahaha. Enggak dink. Sebulan sekali ini untuk sementara. Semoga nantinya bisa dua minggu sekali seperti Mami Gesi dan Mbak Windi. Boleh kan yaa? Boleeeehhh.

Kami memilih akhir bulan biar gampang diinget aja. Gaya banget kemarin sibuk milih tanggal dan hari. Ujung-ujungnya akhir bulan juga. Jadi stay tune ya! Kami berdua akan menyapa di akhir bulan!


Pertemuan dan perkenalan pertama


Kali pertama bertemu Kak Berbie (panggilan lain dari Mbak Atanasia Rian) saat saya berkunjung ke rumah Manda di Jogja. Enggak dalam rencana apa-apa. Emang lagi pengen dolan aja. Toh Semarang-Jogja bisa ditempuh kurang lebih tiga jam. Berangkat pagi dan pulang sore juga bisa. Pertemuan saya dengan Kak Berbie berkat campur tangan Manda. Tanpa Manda saya tidak mungkin bisa mengenal dan tahu bahwa kami sama-sama anak tunggal.

"Taro, nanti di Jogja kita main sama Rian, Diba dan Prima, ya!" pesan Manda bersemangat.

Sebagai orang yang kurang gahul, saya hanya  sesekali melihat mereka di timeline. Belum pernah bertegur sapa. Oke, saya memang jarang komen di status orang. Apalagi faceebook. Sekalipun status saya dikasih like atau di komen. Soalnya usai bikin status pasti saya tinggal pergi. Sungguh jangan ditiru ya. Ini nggak baik. Hiks. Belum lagi saya juga jarang banget blog walking. Ya ya ya terlalu banyak alasan mengapa saya terjebak di posisi ini. 

Berbeda dengan twitter dan instagram. Saya lebih sering seluncuran di kedua akun sosial media ini. Walau kalau udah kumat malasnya, ketiganya saya abaikan begitu saja. Wajar bila saya kurang mengenal ketiga nama yang disebutkan Manda. Padahal mereka blogger ngehits seantero Yogyakarta. Duh, maapkan adikmu, Kak! *sungkem*

Dua hari semalam saya ditemani keliling Jojga. Dari ujung ke ujung. Menikmati tempat-tempat liburan yang memanjakan badan. Menghajar aneka makanan yang menggoyang lidah. Enggak lupa bercerita ngalor ngidul. Makasih banyak ya Manda. Karenamu saya bisa mengenal mereka.


Kesan pertama 


Ceplas ceplos dan apa adanya. Kesan ini langsung tertangkap oleh indera perasa yang diawali dari indera penglihatan terlebih dahulu. Berhubung saya anaknya cuek dan pendiam, agak nggak begitu memperhatikan tindak tanduk lain. Saya juga nggak banyak tingkah. Kalem gitu pokoknya. Hanya saja dua hari berinteraksi, entah mengapa semacam ada chemistry diantara saya dan Kak Berbie. Apa itu? Embuh.

Dua hari membuat saya sedikit mengenal pemilik blog www.kulinerwisata.com alias Mbak Atanasia Rian. Ternyata beliau pernah tinggal di Semarang sebelum akhirnya menetap di Jogja. Jadi kalau saya ngoceh soal Semarang, nyambung-nyambung saja. Saya yang sering kedapatan dinas di Jogja bersemangat bertanya rekomendasi tempat-tempat kece. Kak Berbie termasuk golongan anak gahul Jogja loh. Coba aja kepoin blognya *promoin blog orang biar nambah amal*

Pertemuan saya dengan si Kakak baru terjadi lagi beberapa waktu lalu. Saat itu saya harus dinas ke Jogja. Teman-teman memilih jalur pulang pergi. Sedangkan saya ambil jalur aman. Nginep. Remek tulang belulang kalau harus pulang pergi dua hari. Belum lagi ketemu macet. Duh. Tak kuasa badan dan hati ini. Hayati bisa merengek mulu minta cuti. Hihi. Alesyan :D

Kak Berbie menjadi orang pertama yang terlintas soal hotel. Seingat saya rumahnya dekat dengan kantor tempat dinas. Tanpa mikir panjang saya merecoki soal hotel. Posisi saya sedang kemrungsung. Saya butuh hotel cepat dan saat itu juga. Untung si Kakak ini sabar. Keputusan akhir ditengah pikiran yang berkecamuk, saya memutuskan menginap di Hotel Atanasia Rian. 

Hotel ini menjadi tempat kami berdiskusi memutuskan tema tulisan tentang anak tunggal. Di sini pula saya menyaksikan bakti Kak Berbie sebagai anak. Suasana rumahnya selalu humoris. Bapak ibunya penuh semangat dan asyik diajakin ngobrol. Sungguh disaat yang bersamaan saya merindukan emak bapak. Sangat berbeda jauh saya dengan Kak Berbie dalam hal darma bakti kepada orang tua. Saya merantau dan sowan orang tua sebulan sekali. Sedangkan Kak Berbie menghabiskan sehari-hari bersama ibu bapak. Ah, aku iri! 

Pertemuan beberapa jam kemarin juga membuat kami merasa memiliki banyak kesamaan. Mulai dari malas mandi, cuek, ceplos ceplos, doyan makan dan dolan. Banyak cerita kocak plus dodol menjadi anak tunggal. Pertemuan itu pula yang membuka tabir kalau saya suka khilaf saat melihat magnet. Haha. 

Walau berbeda emak bapak. Baru bertemu dan bertatap muka dua kali. Kami merasa cocok. Banyak hal yang ingin kami ceritakan tentang anak tunggal. Mulai dari masa kecil sampai saat ini. Mulai dari cara didik orang tua sampai hal kecil lain.

Kami berdua memang anak tunggal. Tapi kami tidak dididik menjadi anak manja. Kami berdua harus bisa survive di manapun.

Banyak yang ingin dituliskan tapi nanti bosan bacanya. Tunggu edisi selanjutnya bulan depan ya! 



Salam,



@tarie_tarr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar