Perlukah Memperhitungkan Cuti di Awal Tahun?
"Kalian mau cuti kapan?" tanya atasan saat kami sedang ngobrol santai bahas pembagian kerjaan di awal tahun.
"Aku kayaknya bulan ini dan ini deh, Boss. Boleh ya?" jawab embak bersemangat sambil bunderin kalender.
"Kalau aku bulan ini dan itu. Mau ke sini dan situ," ujar rekan kerja embak tak kalah bersemangat.
"Oke. Kalau gitu udah deal dari awal ya. Cutinya jangan bentrok. Minimal harus ada 2 orang yang standby deh. Kalau misal kepepet yaa satu"
"Siap!"
"Aku kayaknya bulan ini dan ini deh, Boss. Boleh ya?" jawab embak bersemangat sambil bunderin kalender.
"Kalau aku bulan ini dan itu. Mau ke sini dan situ," ujar rekan kerja embak tak kalah bersemangat.
"Oke. Kalau gitu udah deal dari awal ya. Cutinya jangan bentrok. Minimal harus ada 2 orang yang standby deh. Kalau misal kepepet yaa satu"
"Siap!"
Punya atasan yang nggak riwil untuk masalah cuti rejeki deh. Alhamdulillah sejak pertama kerja nggak pernah bermasalah soal cuti. Di kantor lama jatah cuti 12 hari nyaris nggak pernah habis. Entah kenapa dulu nggak pernah ada niat menghabiskan juga sih. Sekarang? Eeeemmm nganu, tergantung situasi dan kondisi.
Yaaa gimana yaaa cuti kan harus diperhitungkan baik-baik. Dulu saya nggak sebegitu detailnya untuk urusan cuti. Sekarang kebalikannya. Suka ngitung cuti. Desktop aja gambarnya kalender untuk satu tahun berjalan. Kerjaan wajib menjelang awal tahun adalah googling gambar kalender buat dipajang di desktop. Penting amat yaa kerjaannya? Wkwkwkwk. Alibi biar tetep semangat kerjanya. Hahaha.
Tiga tahun terakhir ini untuk urusan cuti embak jauh lebih tertata. Bener-bener memperhitungkan kapan akan cuti. Yah, walau cuti memang hak setiap karyawan tapi menurut embak nggak bisa kalau sembrono ngambilnya. Kecuali memang dalam kondisi mendesak yaa. Misalnya anak sakit, anter anak piknik, suami (kalau udah punya suami) sakit, atau hal-hal lain yang memang sangat urgent. Jangan sampai bentar-bentar cuti. Dikit-dikit cuti. Bisa disuguhi wajah lempeng dari atasan dan rekan kerja. Enggak mau kan?
Awal tahun selain mempersiapkan beberapa agenda untuk pembagian kerjaan satu tahun, membahas cuti juga menjadi bagian yang penting. Hal ini bertujuan agar antara rekan kerja dan atasan saling terbuka. Jadi sejak awal kita tahu kapan rekan kerja atau atasan cuti. Nggak akan ada ngedumel di belakang kalau ditinggal. Kalau bisa dibahas sekalian kali yaa mau oleh-oleh apa. hahaha.
Cuti yang sudah dibooking jauh-jauh hari akan membantu sekali untuk atasan dan rekan kerja dalam urusan memback up kerjaan. Apalagi jika cuti panjang, misalnya seminggu gitu. Tentu beban pekerjaan yang selama ini kita ampu akan beralih ke rekan kerja dan atasan kita. Nggak mau kan mereka ngomel gara-gara ditinggal cuti tanpa pemberitahuan jauh-jauh hari sebelumnya?
Saat sudah menentukan cuti di awal tahun, sebaiknya juga memperhatikan load pekerjaan. Biasanya ada bulan-bulan tertentu dimana load kerjaan sedang manis-manisnya alias nggak bisa diajak kompromi. Nah, kalau kayak gini mending jangan nyodorin surat cuti kecuali urusan mendesak. Bisa berabe urusan. Jika load pekerjaan sedang stabil dan kira-kira bisa dihendel rekan kerja, nggak masalah untuk cuti. Embak inget-inget banget untuk urusan ini. Walau memang sih ya kerjaan itu kadang nggak bisa ditebak.
Setiap karyawan yang mengajukan cuti tentu punya tujuan tertentu. Entah mau traveling, ada urusan keluarga, lamaran, ngurus ini itu dan edebre-edebre lainnya. Tapi dari total 12 hari jatah cuti sebelum dikurangi cuti bersama, wajib rasanya menyisihkan cuti untuk hal-hal urgent. Ini penting banget. Mengingat kadang hal-hal bisa terjadi di luar dugaan. Kalau embak biasanya menyisihkan sekitar 4 hari untuk hal-hal urgent. Biar bisa diambil sewaktu-waktu tanpa harus meminta ijin khusus.
Manusia memang hanya bisa berencana, sisanya biarlah Tuhan yang menentukan. Cuti yang sudah diatur sedemikian rupa bisa lho bubar jalan. Entah karena load pekerjaan yang memang nggak bisa ditinggal atau ada hal lain. Kalau nggak bubar jalan biasanya harus geser alias menyesuaikan. Enggak apa-apa. Harus tetap legowo. Namanya juga kan kerja ikut orang yang notabene punya peraturan. Lagipula ada tanggung jawab yang harus diselesaikan. Selama atasan dan rekan kerja ACC, bagi embak cuti gesar geser nggak masalah.
Satu kebiasaan di kantor yang masih kebawa sampai sekarang adalah kami tetap siap ditelepon kapan saja saat cuti. Hal ini berlaku untuk siapa saja. Biasanya sih terjadi untuk hal-hal mendesak yang memang tidak bisa diselesaikan oleh orang yang ada di kantor. Hehehe. Namanya juga kerjaan dititipkan yaa, wajarlah kalau ada yang nggak mudeng satu dua.
Bekerja dalam tim memang dibutuhkan rasa legowo yang berlebih. Jika ditinggal teman cuti ya nggak usah ngerundel, toh, nanti akan ada jatahnya buat cuti juga. Berbeda dengan para wirausahawan, mereka sendiri yang menentukan kapan harus cuti dan kapan harus bekerja. Tanpa harus memikirkan embel-embel nanti gimana ini, nanti gimana itu.
Kamu gimana gengs? Kalau cuti suka mendadak atau jauh-jauh hari?
Salam,
@tarie_tarr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar